Hai.... Sudah lama sekali aku gak ngposting disini. Sampai rasanya banyak sekali sarang lama-lama di blog ini -abaikan-. Seperti biasa, aku masih terjebak oleh kondisi tempat yang tidak memungkinkan untuk terus menulis disini, dan jika aku berada di kota, aku selalu menghabiskan waktu dengan teman-teman dan handphone. Oh iya, pengabdianku mengikuti SM-3T hampir selesai, kurang lebih 4 bulan lagi. Insya Allah Agustus sudah pulang.
Kali ini aku mencopas tulisan catatan menarik yang harus aku kumpulkan ke pihak LPTK Unesa ketika Monitoring and Evaluated akhir maret kemarin. Enjoy!
Kali ini aku mencopas tulisan catatan menarik yang harus aku kumpulkan ke pihak LPTK Unesa ketika Monitoring and Evaluated akhir maret kemarin. Enjoy!
Terbiasa dengan Para Binatang
Tidak pernah terpikirkan
sebelumnya, jika saya mengikuti program yang dibesut oleh dikti ini. Alasannya
sangat klasik, yaitu saya tidak ingin hidup susah dan jauh dari keluarga. Bahkan
ketika sang ketua Prodi menyarankan dan ada beberapa teman yang mengajak daftar
program SM-3T ini, saya menolaknya dengan tegas. Berawal dari keisengan saya
mencoba registrasi online di akhir waktu pendaftaran, akhirnya Tuhan berkehendak
lain, atas ijinNya dan orang tua, 6 bulan sudah saya mampu menjalani program
SM-3T yang bertempat di Kabupaten Sumba Timur, yaitu SMPN Satap Hiliwuku.
Sebuah sekolah yang terletak di dusun Tandairotu, desa Katikuluku, Kecamatan
Matawai La Pawu. Suka tidak suka, saya harus membaur dengan lingkungan yang
sangat jauh berbeda dibandingkan dengan kota dan kehidupan serta kebiasaan yang
masih kental dengan adat istiadat di pedalaman Sumba Timur. Alhamdulillah, saya
mampu beradaptasi dengan semua itu, bahkan dengan binatang-binatang disana.
Setiap harinya, saya melihat
banyak binatang peliharaan dan binatang ternak diarea tempat tugas, seperti
anjing, ayam, babi, kambing, kuda, sapi, kerbau, burung gagak, kelabang,
belatung, ulat kaki seribu, ulat. Sebelumnya binatang tersebut memang jarang terlihat
diarea kampung halaman saya kecuali ketika saya pergi ke kebun binatang dan
taman safari. Awalnya melihat mereka, saya sangat takut dan tidak mau mendekat
karena saya sangat jijik dengan semua binatang. Lambat laun, akhirnya saya
sudah terbiasa dengan keberadaan mereka, misalnya anjing yang berkeliaran bebas
di sekitar mess dan sekolah. Bahkan ada satu anjing yang bernama Boy yang
selalu patuh dan mendengarkan perintah saya. Setiap saya ke kelas untuk
mengejar dia selalu menemani di dalam kelas, entah dia sedang duduk manis
ataupun tidur di samping meja guru. Ketika pulang sekolah dia membuntuhi saya
menuju mess. Ketika saya jalan-jalan di sekitar tempat tugas, dia sering
mengantarkan saya sampai tempat tujuan bahkan menjaga saya dari hewan lain
terutama anjing-anjing tetangga yang sering menggong-gong bila ada orang baru
yang lewat. Terkadang saya juga sedikit jengkel dengan beberapa anjing
disekitar tempat tugas, karena beberapa dari mereka suka menyium dan menjilat
barang-barang saya, dari peralatan dapur hingga pakaian yang saya gunakan, dan
mau tidak mau saya harus mensucikan najis dari anjing tersebut.
Sudah 6 Bulan lebih saya berada
di Sumba Timur, dan saya sudah menyembelih 10 ekor ayam. Di tempat tugas,
banyak dihuni oleh orang sumba yang beragama kristen protestan dan sebagian
kecil yang bergama katolik, sehingga jika ingin menyembelih hewan mereka selalu
meminta tolong orang yang beragama islam supaya daging hewan tesebut dapat
dikonsumsi bersama-sama. Kebetulan orang islam di tempat tugas hanya ada saya,
teman tugas, ibu bidan dan keluarganya. Jika ibu bidan dan keluarganya tidak
ada di tempat tugas, saya yang selalu dimintai tolong untuk menyembelih hewan
seperti ayam dan kambing. Pengalaman menyembelih hewan hanya saya dapatkan di
Sumba Timur, karena memang saya baru pertama kali menyembelih hewan. Awalnya
saya gagal memotong leher ayam karena pisau yang saya gunakan ternyata tumpul,
tetapi untuk selanjutnya saya sudah lancar menyembelih ayam.
Saya juga sempat menunggangi kuda
meski awalnya saya sempat jatuh ketika menaikinya. Selama menungganginya, saya
berteriak dan hampir menangis karena masih trauma dengan kejadian jatuh
sebelumnya. Beruntung, ketika menunggangi kuda, ada murid saya yang memantau dan
mengendalikan kuda tersebut jadi saya merasa aman.
Saya termasuk orang yang tidak
suka dan merasa geli jika melihat hewan melata entah itu melihat ulat, ular,
cacing, kelabang, ulat kaki seribu, dan lain-lainnya. Pada saat saya
membersihkan cabai, saya melihat belatung kecil yang sangat banyak disekitar
cabai busuk. Saya tahu jika saya menolak dan merasa jijik melihat hewan melata
tersebut, saya akan kehilangan banyak cabai untuk memasak. Akhirnya saya
membulatkan tekad untuk memberanikan diri untuk tidak takut dan memilah-milh
belatung tersebut dan membuangnya, bahkan ada beberapa belatung yang saya bunuh
karena mereka meloncat-loncat kearah saya.
Tidak hanya cukup dengan hewan
melata seperti belatung, saya sudah 3 kali melihat kelabang merah dengan ukuran
besar, kira-kira panjangnya 25 cm di tempat singgah jika berada di kota
Waingapu (kontrakan). Karena berukuran besar, saya tidak berani membuang bahkan
membunuhnya. Saya selalu meminta teman untuk mengusir dan membunuhnya. Memang
benar, jika membunuh hewan itu tidak dibolehkan, karena mereka makhluk hidup
yang juga berhak untuk hidup tetapi jika hewan tersebut dirasa mengancam
keselamatan, membunuhnya pun dianjurkan. Termasuk dengan kelabang dan belatung
tersebut.
Pengalaman dengan bianatang hanya
saya dapatkan di Sumba Timur ketika mengikuti program SM-3T ini. Menyenangkan
dan juga mengharukan.
Nah, begitulah ceritaku. Nanti disambung lagi :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar